Raisa Rahima

Does Sherlock Holmes exist? Maybe we would answer, no, because Sherlock Holmes is a fictional entity. But, with the same logic, we can say that Sherlock Holmes is a detective and not a police. How do we believe and know the truth-value of Sherlock Holmes when Sherlock Holmes doesn’t exist? Fictional objects underwent a various number of puzzles in their ontological and metaphysical resolutions. Philosophers have tried to solve this puzzle by inventing various theories. This article means to explore the historical development of fictional objects and the puzzle surrounding it. This article finds that the theories in fictional objects include two big-streams of metaphysical assumptions that contradict each other which are(1) mind-dependent and (2) mind-independent. This article also means to invent a theory called theory-n to solve fictional objects puzzles that are assigned by Kripke (1979). This article solves the fictional objects mind-dependent and/or mind-independentpuzzleor belief puzzle with rather relational-semantic approaches instead of flat-semantics. Further, theory-n finds that new fictionalism with relational-semantic admits fictional objects as foundation to make sense of objects (any objects, including actual objects is reducible to fiction)

Apa itu yang ada? Kita akan membilang seluruh objek di sekitaran kita: lampu, buku, langit, matahari dan lain-lain. Tetapi bagaimana jika seseorang bertanya, “Apa yang kamu inginkan?” kita akan menjawab “Aku ingin kapal pesiar, iPhone, Taylor Swift.” dan objek lain yang terpikirkan. Bagaimana seseorang dapat menjamin bahwa kapal pesiar yang kita pikirkan sesuai dengan kapal pesiar yang ada?. Artikel ini membahas perlakuan proposisional Quine dalam memahami identitas objek tanpa eksistensi yang mengemban status ontologis (keberadaan) dari proses kuantifikasi level-pertama.

Artikel ini menemukan bahwa media sosial memberikan ruang bagi masyarakat untuk menciptakan paradigma intelektual dan kultural tertentu bagi sesama penggunanya untuk diikuti: meme merupakan alat memetis untuk mereplikasi informasi yang didasari paradigma tersebut (meme memiliki peran simbolis). Dalam hal kultural, yang pasti mereka menghindari referensi kultur jamet, dalam hal intelektual atau pola pikir, yang pasti mereka mengindari pola pikir “hyungers” yang bias atau “ngabers” yang maskulin. Merupakan hal yang tak lagi asing mengapa “Warga Twitter” memiliki pensifatan tersendiri yang “kritis, intelektual, open-minded”. Artikel ini pun menyimpulkan, lebih lanjut, bahwa pada akhirnya kegiatan mengonsumsi meme telah membentuk kepribadian masyarakat dalam halnya pola pikir dan budaya tertentu.